Anak yang Didengar, Dewasa yang Sadar
Jun 13, 2025
“Seorang anak yang pernah didengar akan tumbuh menjadi orang dewasa yang tidak takut mengenal dirinya. Tapi anak yang dibungkam akan belajar menyembunyikan luka, bahkan dari dirinya sendiri.”
— Syam Basrijal, Founder Restorasi Jiwa Indonesia
Luka yang Bermula dari Sunyinya Masa Kecil
Banyak gangguan mental yang muncul di usia dewasa bukan terjadi secara tiba-tiba. Ia seringkali adalah akumulasi dari masa kecil yang tidak pernah benar-benar didengar. Ketika anak marah lalu disuruh diam, ketika anak menangis tapi dianggap manja, ketika anak bertanya tapi diminta berhenti cerewet—itulah saat benih luka ditanam.
Menurut laporan World Health Organization (WHO), setidaknya 50% gangguan mental pada orang dewasa berakar sejak sebelum usia 14 tahun. Namun karena tidak dikenali atau ditanggapi secara empatik, luka itu tumbuh diam-diam—menyusup menjadi rasa tidak layak, kecemasan, overthinking, hingga relasi yang penuh luka.
Masa Kecil Bukan Hanya Tentang Mainan, Tapi Tentang Ruang Didengar
Anak-anak tidak selalu tahu cara mengekspresikan apa yang mereka rasakan. Mereka menangis, merajuk, membanting, bahkan diam berkepanjangan—bukan karena nakal, tapi karena tidak tahu cara menyuarakan batin mereka.
Tugas kita bukan memaksa mereka segera tenang, tapi hadir untuk mendengarkan dengan empati. Karena dari rasa didengar itulah, anak belajar:
- Mengenali dan menamai emosinya.
- Mengelola rasa kecewa, takut, atau marah dengan sehat.
- Memahami bahwa dirinya berharga, bahkan ketika ia sedang tidak sempurna.
Kampanye: Anak yang Didengar, Dewasa yang Sadar
Kampanye ini bertujuan untuk mengubah paradigma pola asuh dan pendidikan anak dari pendekatan kontrol menjadi pendekatan koneksi. Beberapa pendekatan utamanya:
1. Literasi Emosi untuk Orang Tua
- Pelatihan mengenali jenis emosi anak dan kebutuhan di balik perilaku.
- Teknik mendengar aktif: jeda, validasi, tanya dengan rasa, lalu tuntun.
- Memahami bahwa menangis adalah kebutuhan, bukan kesalahan.
2. Komunikasi Dua Arah dalam Keluarga
- Membiasakan tanya perasaan, bukan hanya prestasi.
- Ruang dialog harian: “Apa yang paling kamu rasakan hari ini?”
- Orang tua yang berani meminta maaf saat salah sebagai contoh nyata kesadaran diri.
3. Sekolah Ramah Jiwa
- Guru dilatih membaca sinyal emosional anak di kelas.
- Program Morning Check-in: siswa menandai mood-nya setiap pagi, dan guru menyapa sesuai kebutuhan emosional.
- Ruang ekspresi bebas melalui seni, jurnal, atau cerita.
4. Gerakan “5 Menit Didengar”
- Kampanye nasional untuk menyediakan 5 menit setiap hari bagi orang tua dan guru untuk hanya mendengar, tanpa menyela atau menggurui.
Manfaat Jangka Panjang: Mencegah Sebelum Mengobati
Anak yang tumbuh dalam pola asuh empatik akan menjadi dewasa yang:
- Tidak takut menyuarakan kebutuhan emosinya.
- Lebih peka terhadap perasaan orang lain.
- Tidak mencari validasi secara berlebihan.
- Mampu membentuk relasi yang sehat, penuh kesadaran, dan saling menghargai.
Dengan kata lain, mencegah gangguan mental sejak dini bukan soal terapi dini, tapi tentang menghadirkan kehadiran penuh kasih sejak anak kecil berkata: “Aku sedih,” dan kita benar-benar mendengarnya.
Dari Telinga yang Mendengar, Jiwa Bisa Tumbuh
Mungkin kita tak bisa mengubah masa kecil kita sendiri, tapi kita bisa menciptakan masa kecil yang lebih utuh bagi generasi setelah kita. Karena setiap anak yang didengar hari ini, adalah orang dewasa yang lebih sadar, lebih sehat, dan lebih mampu menciptakan dunia yang lembut esok hari.
“Mendengar anak adalah mendengar masa depan. Karena setiap rasa yang diterima hari ini, adalah fondasi kesadaran yang akan menyelamatkan banyak jiwa di kemudian hari.”
— Syam Basrijal, Founder Restorasi Jiwa Indonesia