Jangan Lelah Menjadi Baik, Aktivis Sosial Juga Butuh Pulih
Jun 15, 2025
“Menjadi baik tidak berarti harus selalu kuat. Bahkan cahaya paling terang pun butuh waktu untuk meredup sejenak agar tidak padam. Karena memberi yang tulus lahir dari jiwa yang juga tahu caranya menerima.”
— Syam Basrijal, Founder Restorasi Jiwa Indonesia
Kelelahan di Balik Kebaikan
Banyak orang menyebut mereka “pahlawan tanpa tanda jasa”—para aktivis sosial, relawan kemanusiaan, pendamping masyarakat, guru daerah terpencil, tenaga medis, hingga pejuang advokasi di garis depan. Mereka bergerak dengan hati, mengorbankan waktu, tenaga, dan kadang rasa aman demi orang lain.
Namun siapa yang menyembuhkan mereka ketika lelah? Siapa yang hadir ketika mereka sendiri ingin menangis?
Di balik semangat dan dedikasi itu, banyak pejuang kemanusiaan mengalami kelelahan emosional kronis, kehilangan makna, dan diam-diam merasa hampa. Ini bukan karena mereka lemah, tapi karena terlalu lama menunda merawat dirinya sendiri.
Fenomena Compassion Fatigue dan Burnout Sosial
Compassion fatigue adalah kelelahan batin akibat terlalu sering memberi empati tanpa cukup menerima dukungan balik. Ini sering dialami oleh mereka yang bekerja di wilayah penderitaan manusia—tanpa disadari, jiwa mereka menyerap luka yang mereka bantu tangani.
Gejalanya mencakup:
- Kehilangan gairah terhadap pekerjaan yang dulu dicintai.
- Mudah marah, cepat lelah, merasa hampa.
- Mulai sinis terhadap penerima manfaat atau lembaga sendiri.
- Merasa bersalah saat ingin istirahat atau menolak tugas.
Menurut laporan Global Giving, lebih dari 62% aktivis sosial mengaku merasa kewalahan secara emosional namun tetap menahan diri untuk minta bantuan, karena takut dianggap tidak total, kurang militansi, atau bahkan “berkhianat terhadap misi.”
Kampanye: Jangan Lelah Menjadi Baik
Kampanye ini hadir untuk mengubah narasi tentang aktivisme dari pengorbanan terus-menerus menjadi keseimbangan yang menyelamatkan. Fokus utamanya adalah:
- Mengedukasi bahwa aktivis juga manusia yang punya kebutuhan emosional.
- Membangun ruang pemulihan yang tidak mengurangi nilai perjuangan.
- Menghapus stigma terhadap istirahat, jeda, dan batas sehat dalam pelayanan.
Pendekatan Program
Restorasi Jiwa Indonesia mengembangkan model khusus bagi para pejuang sosial, antara lain:
- Retreat “Pejuang Juga Butuh Pulang”
Ruang reflektif dan pemulihan emosional selama 2–3 hari, dengan pendekatan kesadaran, menulis, meditasi, dan circle healing. - Ruang Emosional Reguler di LSM dan Komunitas
Sesi bulanan internal untuk curhat, journaling, dan perawatan batin. - Panduan “Aktivis yang Utuh”
Modul mini tentang keseimbangan antara memberi dan menerima, khusus untuk pekerja lapangan dan penggerak komunitas. - Kampanye Sosial #AktivisButuhPulih
Narasi publik untuk mengedukasi masyarakat bahwa merawat aktivis adalah bagian dari menjaga keberlanjutan perjuangan itu sendiri.
Paradigma Baru: Dari Martir ke Manusia yang Utuh
Menjadi pejuang bukan berarti menjadi martir. Aktivisme yang berkelanjutan lahir dari jiwa yang utuh, bukan dari tubuh yang dikorbankan.
Ketika aktivis belajar berkata “cukup dulu”, “saya butuh istirahat”, atau “saya sedang tidak baik-baik saja”—mereka sedang menjaga agar obor perjuangan tidak padam karena kelelahan yang dipendam.
Memberi Tak Harus Membakar Diri Sendiri
Kebaikan sejati tidak menuntut kita untuk mengorbankan segalanya. Ia justru mengajak kita untuk memberi dari tempat yang penuh, bukan dari kekosongan. Maka jangan lelah menjadi baik, tapi belajarlah pulih agar kebaikanmu tetap menjadi cahaya yang hangat—bukan api yang membakar diri sendiri.
“Aktivis bukan robot. Mereka manusia yang juga berhak merasa, beristirahat, dan dicintai kembali. Karena dunia yang lebih baik dimulai dari jiwa-jiwa yang tak lelah untuk kembali mengisi pelita dalam dirinya.”
— Syam Basrijal, Founder Restorasi Jiwa Indonesia