Jiwa Bukan Aib: Mengembalikan Martabat Istilah yang Selama Ini Disalahpahami

literasi-jiwa May 24, 2025
Seorang pria dengan mata terpejam berdiri di antara bunga dan dedaunan, disinari cahaya ungu dan biru yang menciptakan suasana reflektif dan tenang.

Oleh Syam Basrijal, Founder Restorasi Jiwa Indonesia

Di berbagai ruang sosial masyarakat kita, kata jiwa masih kerap dibisikkan dengan ragu-ragu. Seolah-olah ia adalah sesuatu yang memalukan, sesuatu yang tabu untuk dibicarakan, apalagi diakui sedang terluka. Ketika seseorang berkata, “Aku sedang merasa lelah secara batin,” ia lebih sering dibungkam dengan nasihat moral atau ayat-ayat yang menenangkan secara lahiriah, namun tidak menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya. Dalam banyak kasus, bukan kesedihan yang menyakitkan, tetapi ketidakbolehan untuk bersedih.

Dalam bahasa populer, kita menyebut seseorang “sakit jiwa” ketika perilakunya keluar dari norma. Kita memberi label “gangguan kejiwaan” kepada mereka yang tampak tidak stabil secara emosional. Padahal, istilah jiwa bukanlah representasi dari gangguan, melainkan pusat dari segala sesuatu yang membuat kita menjadi manusia. Jiwa adalah ruang terdalam yang merasakan cinta, kehilangan, makna, trauma, harapan, dan arah hidup. Sayangnya, dalam sistem sosial kita yang kerap menolak kelembutan, jiwa dianggap sebagai kelemahan, bukan kekuatan.

Kita hidup dalam budaya yang sangat memuja kekuatan fisik, pencapaian lahir, dan ketangguhan mental. Tapi yang jarang disadari adalah, bahwa banyak luka sosial yang kita saksikan—mulai dari kekerasan rumah tangga, bullying, intoleransi, depresi massal hingga tindakan bunuh diri—berakar dari jiwa-jiwa yang selama ini diabaikan, dipaksa kuat, atau dilarang menangis. Menurut laporan WHO (2022), satu dari delapan orang di dunia mengalami gangguan mental, dan di Indonesia sendiri, data RISKESDAS 2018 mencatat peningkatan prevalensi gangguan emosional dari 6% menjadi 9,8%—angka yang diyakini masih lebih rendah dari kenyataan karena stigma membuat banyak orang enggan melapor.

Sebagai seorang yang pernah berdinas di dunia militer dan kini terjun penuh dalam dunia penyembuhan batin, saya menyaksikan bahwa keterpurukan bukan selalu karena kurangnya kemampuan, tetapi sering kali karena tidak adanya ruang bagi jiwa untuk didengar dan diterima. Dan ketika seseorang tak diberi ruang untuk merasakan, maka ia akan menyakiti atau menyembunyikan rasa itu dengan cara yang membahayakan dirinya atau orang lain.

Itulah sebabnya, program Literasi Jiwa hadir bukan hanya untuk menyebarkan buku, tapi untuk mengembalikan martabat kata 'jiwa' sebagai pusat kemanusiaan. Kita ingin membangun kesadaran baru bahwa membicarakan jiwa bukanlah kelemahan, melainkan keberanian. Bahwa merawat jiwa bukanlah urusan orang sakit, tapi tanggung jawab setiap manusia yang ingin hidup lebih utuh, lebih damai, dan lebih manusiawi.

Kami sadar bahwa untuk mengubah persepsi ini, dibutuhkan lebih dari sekadar kampanye—dibutuhkan pengalaman baru yang menyentuh. Maka, kami menggunakan narasi yang membumi, bukan teknis. Kami tidak bicara soal diagnosa, kami bicara soal rasa. Tentang ibu yang tak punya ruang menangis karena takut dianggap tidak bersyukur. Tentang remaja yang terlihat kuat di media sosial, tapi merasa kosong saat sendiri. Tentang pemimpin yang tampak tegar di panggung, tapi retak saat pintu tertutup.

Mengakui bahwa jiwa kita pernah terluka bukanlah tanda kekalahan—justru itu adalah pintu awal menuju pemulihan yang sejati. Dan literasi jiwa, dalam bentuk buku, ruang diskusi, refleksi kolektif, dan kehadiran yang utuh, adalah cara kami membangun jembatan kembali: dari pikiran ke rasa, dari luka ke makna.

Kami tidak sedang mengajak siapa pun untuk menjadikan diri sebagai pasien. Kami mengajak kita semua menjadi peziarah batin—yang berani menyelami bagian terdalam dari diri sendiri, memeluk luka dengan kasih, dan menumbuhkan harapan yang hidup dari dalam. Karena bangsa ini tak akan pulih hanya dengan memperbaiki jalan dan angka ekonomi—bangsa ini perlu memulihkan jiwanya, satu demi satu.

Dan langkah pertama dari pemulihan itu adalah berani berkata dengan lantang bahwa jiwa bukan aib. Jiwa adalah anugerah. Dan merawatnya adalah tugas paling luhur sebagai manusia yang ingin hidup sepenuhnya.

“Yang menyelamatkan peradaban bukan kekuatan, tapi keberanian untuk kembali pada kelembutan.”
— Syam Basrijal