Kenapa Kesadaran Batin Harus Didahulukan Sebelum Ekonomi Bangkit?

literasi-jiwa May 27, 2025
kesadaran jiwa, literasi batin, pembangunan manusia

Oleh Syam Basrijal, Founder Restorasi Jiwa Indonesia

Dalam percakapan tentang kemajuan bangsa, kita sering kali langsung merujuk pada angka-angka ekonomi: pertumbuhan PDB, peningkatan investasi, pengurangan pengangguran, atau perluasan lapangan kerja. Ukuran-ukuran ini tentu penting, bahkan tak tergantikan. Namun ada satu hal yang sering kali luput dibicarakan: siapa manusia di balik pertumbuhan itu? Sejauh mana jiwanya siap untuk bertumbuh seiring dengan lajunya dunia?

Pengalaman saya selama bertahun-tahun di dunia kepemimpinan, lapangan, dan kini pendampingan batin menunjukkan satu fakta yang tak terbantahkan: tidak ada pembangunan yang benar-benar berkelanjutan jika manusia di dalamnya rapuh secara batin. Kita bisa punya infrastruktur terbaik, kebijakan ekonomi paling canggih, bahkan bantuan sosial yang melimpah, tetapi bila masyarakatnya kehilangan rasa percaya diri, relasi keluarganya penuh luka, dan pikirannya dipenuhi ketakutan atau kehilangan arah—maka semua upaya itu hanya akan menjadi baju luar bagi tubuh yang sedang demam.

Mari kita lihat data dan kenyataan. Berdasarkan laporan Bappenas dan Kemenkes, angka prevalensi gangguan mental emosional terus meningkat sejak pandemi. Di tahun 2022, WHO mencatat lonjakan global hingga 25% untuk gangguan kecemasan dan depresi. Di Indonesia sendiri, lebih dari 20 juta orang diduga mengalami masalah kesehatan mental, sebagian besar tanpa penanganan. Namun yang lebih menyedihkan adalah: banyak di antaranya terus dipaksa “produktif” demi memenuhi target ekonomi, tanpa pernah diberi ruang untuk memulihkan batinnya terlebih dahulu.

Inilah ironi terbesar kita: kita mendorong orang bekerja keras, tapi tidak mengajarkan bagaimana mengelola stres, kehilangan, dan luka batin yang dibawanya setiap hari. Kita menginginkan masyarakat kompetitif, tapi tidak pernah melatih mereka untuk menyadari emosi, merawat relasi, atau mengenali trauma masa lalu yang bisa meledak kapan saja dalam bentuk konflik, kekerasan, atau bahkan keputusasaan diam-diam.

Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah penting memulihkan batin sebelum membangun ekonomi?, tapi apakah mungkin ekonomi bangkit jika manusianya kehilangan arah dan makna?

Saya percaya bahwa kesadaran batin adalah fondasi terdalam dari seluruh pertumbuhan lahiriah. Jiwa yang utuh akan melahirkan pikiran yang jernih, keputusan yang bijak, kerja yang tulus, dan relasi yang sehat. Bukan hanya menciptakan tenaga kerja, tapi menciptakan manusia yang hadir utuh dalam pekerjaannya—yang tidak hanya bekerja karena terpaksa, tapi karena terhubung dengan nilai dan tujuan hidupnya.

Inilah mengapa Literasi Jiwa kami posisikan sebagai gerakan pendamping pembangunan. Kami tidak hadir untuk bersaing dengan agenda nasional atau target ekonomi. Kami hadir untuk memastikan bahwa setiap pembangunan yang dilakukan memiliki dimensi batin, dimensi rasa, dan dimensi kemanusiaan.

Program-program kami tidak hanya membagikan buku, tetapi membangun ekosistem yang memungkinkan manusia berhenti sejenak, mendengar dirinya sendiri, menyadari lukanya, dan perlahan menumbuhkan kembali kekuatan batinnya—yang selama ini ditekan demi mengejar produktivitas. Padahal justru dari batin yang damai itulah lahir produktivitas yang sehat, relasi yang kuat, dan daya tahan hidup yang autentik.

Kami mengajarkan bahwa memulihkan batin bukan kemunduran, tetapi percepatan tersembunyi. Karena bangsa yang pulih dari dalam akan melahirkan pemimpin yang bijaksana, pekerja yang berintegritas, dan masyarakat yang tak mudah diguncang oleh krisis. Bangkitnya ekonomi harus berjalan seiring dengan bangkitnya kesadaran batin.

Saya yakin, Indonesia akan menjadi bangsa besar bukan hanya karena nilai ekspornya meningkat, tapi karena jiwanya tak lagi pecah diam-diam. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang tahu cara menangani marahnya sebelum marah itu menjadi kekerasan. Yang tahu bagaimana menerima kecewanya sebelum kecewa itu berubah jadi apatis. Yang tahu cara menyembuhkan dirinya sebelum ia menyakiti orang lain demi kekuasaan atau pelarian.

“Tidak ada kemajuan yang kokoh tanpa kedamaian batin. Dan tidak ada bangsa yang utuh jika manusianya tercerai di dalam dirinya sendiri.”
— Syam Basrijal