Kesadaran Spiritual, Kesehatan Mental yang Mendarah Daging
Jun 10, 2025
“Iman yang sehat bukan membuat kita takut merasa, tapi memeluk rasa itu dengan kasih. Ia bukan sekadar aturan yang dijalani, tapi ruang batin yang menenangkan dan menyatukan.”
— Syam Basrijal, Founder Restorasi Jiwa Indonesia
Ketika Iman dan Kesehatan Mental Dipisahkan
Dalam banyak percakapan sehari-hari, kita sering menjumpai kalimat seperti “kamu kurang ibadah makanya galau,” atau “orang yang depresi itu jauh dari Tuhan.” Padahal, iman yang otentik seharusnya menjadi penopang pemulihan jiwa, bukan alat untuk menyalahkan penderita. Sayangnya, di banyak komunitas keagamaan, kesehatan mental masih dianggap sebagai kelemahan spiritual atau gangguan iman.
Akibatnya, banyak orang menyembunyikan luka batinnya di balik ibadah yang rajin, pelayanan yang sibuk, atau status religius yang dipertahankan. Mereka tersenyum dalam forum doa, namun menangis diam-diam karena tak tahu harus ke mana membawa lukanya—karena takut dianggap “tidak cukup beriman.”
Spiritualitas dan Psikologi: Dua Sayap Jiwa yang Saling Melengkapi
Penelitian dari National Institutes of Health (NIH) menunjukkan bahwa spiritualitas yang sehat berkontribusi positif terhadap pemulihan gangguan depresi, kecemasan, dan trauma. Bahkan, banyak metode psikoterapi kontemporer sudah mengintegrasikan nilai-nilai spiritual—bukan sebagai dogma, tapi sebagai ruang makna, harapan, dan penerimaan diri.
Namun, perlu dibedakan antara:
- Iman yang menyembuhkan: memberi harapan, pengampunan, dan ketenangan.
- Iman yang melukai: menuntut kesempurnaan, menekan emosi, dan membuat takut salah.
Kesadaran spiritual yang mendarah daging adalah yang membumi dalam laku, bukan hanya hafalan. Ia membantu kita berdamai dengan luka, bukan menyapu luka itu di bawah sajadah atau altar.
Kampanye Lintas Iman: Menyatukan Jiwa dalam Ragam Keyakinan
Kampanye “Kesadaran Spiritual, Kesehatan Mental yang Mendarah Daging” mendorong dialog terbuka antaragama dan antartradisi spiritual. Fokusnya bukan untuk menyeragamkan, tapi membuka ruang inklusif di mana setiap manusia dapat menemukan kekuatan jiwanya melalui iman yang membebaskan, bukan membelenggu.
Beberapa kegiatan yang digagas:
- Forum Refleksi Lintas Iman: menghadirkan tokoh-tokoh agama, penyintas, dan psikolog untuk mendialogkan luka dan harapan.
- Retret Kesadaran Jiwa: menggabungkan praktik spiritual (meditasi, dzikir, doa hening) dengan psikoedukasi.
- Panduan “Iman yang Menyembuhkan”: buku saku atau video reflektif untuk komunitas agama dan sosial.
- Pelatihan Pendamping Jiwa Berbasis Spiritualitas Inklusif: bagi rohaniwan, relawan, dan fasilitator komunitas.
Mengapa Ini Penting?
- Banyak penderita gangguan mental enggan mencari bantuan karena takut dianggap tidak beriman.
- Ruang spiritual dapat menjadi tempat pulang yang penuh kasih—jika dihadirkan dengan empati, bukan dogma kaku.
- Kesadaran akan keberadaan Ilahi—dalam bentuk apa pun—dapat memberikan kekuatan untuk bertahan, berubah, dan menyembuhkan.
Bahkan dalam psikologi eksistensial dan terapi transpersonal, pencarian makna spiritual dianggap sebagai tahap tertinggi dari pemulihan dan pertumbuhan manusia. Karena ketika seseorang menemukan bahwa hidupnya tetap bernilai meski terluka, di situlah pemulihan sejati dimulai.
Menyatukan yang Terpisah, Mendarah Daging dalam Jiwa
Jalan iman dan jalan pemulihan tidak perlu berjalan sendiri-sendiri. Keduanya bisa bertemu di persimpangan yang bernama kasih, empati, dan kehadiran sadar. Di sana, manusia tidak lagi dilihat dari sakitnya, tapi dari kemampuannya untuk tetap berharap dan tumbuh—meski perlahan.
“Ketika iman menjadi tempat pulang yang tidak menghakimi, di situlah jiwa mulai sembuh. Kita tak lagi berdoa untuk sempurna, tapi untuk damai dengan diri yang nyata.”
— Syam Basrijal, Founder Restorasi Jiwa Indonesia