Bukan Antara Luka atau Logika
May 19, 2025
Menghadirkan Inner Child Tanpa Kehilangan Rasionalitas
Oleh Arlen Karundeng
Dalam dunia psikologi modern, kita kerap disodorkan pilihan seolah-olah harus memilih antara dua kutub: menjadi pribadi yang rasional atau menjadi pribadi yang emosional. Di satu sisi, pendekatan kognitif mengajarkan kita untuk mengelola pikiran, mengganti pola pikir negatif, dan mengatur perilaku dengan logika. Di sisi lain, pendekatan penyembuhan luka batin—terutama melalui konsep inner child—mengajak kita menyentuh bagian terdalam dari jiwa yang rapuh, menangis untuk luka lama, dan memeluk rasa kehilangan yang belum selesai. Namun, bagaimana jika keduanya tidak perlu saling meniadakan? Bagaimana jika jalan pemulihan tidak harus memilih antara luka atau logika?
Konsep inner child sering kali dipandang dengan skeptisisme oleh sebagian kalangan, terutama dari aliran behaviorisme radikal dan CBT murni, yang menekankan bahwa pemikiran logis dan pengondisian perilaku lebih penting daripada eksplorasi masa lalu. Kritik terhadap inner child mencuat dari fakta bahwa ia tidak bisa diuji secara empiris dan lebih merupakan metafora terapeutik. Bahkan, para peneliti seperti Elizabeth Loftus menunjukkan bahwa eksplorasi memori masa kecil yang intens berisiko memunculkan false memories, yakni ingatan yang tidak benar tetapi diyakini sebagai kenyataan oleh klien terapi. Di dunia psikiatri biologis pun, luka batin emosional dianggap tidak relevan jika tidak berkorelasi langsung dengan ketidakseimbangan neurotransmiter.
Namun, fakta klinis di lapangan justru menunjukkan bahwa pendekatan inner child healing banyak membantu para penyintas trauma. Studi oleh Van der Kolk (2014) dalam The Body Keeps the Score menunjukkan bahwa luka emosional masa kecil seringkali terekam dalam tubuh dan sistem saraf, bahkan ketika pikiran sadar tidak lagi mengingatnya. Ini membuktikan bahwa emosi masa lalu tidak bisa sekadar diabaikan atau digantikan oleh logika. Mereka perlu dihadapi dan disembuhkan—bukan dengan dramatisasi, tetapi dengan kehadiran penuh kesadaran.
Di sinilah muncul ruang untuk jalan tengah yang integratif. Kita tidak perlu menolak pendekatan kognitif—sebaliknya, justru penting untuk mengintegrasikannya dalam proses penyembuhan emosional. Inner child tidak harus menjadi simbol ketergantungan atau “keterjebakan masa lalu.” Ia bisa dikenali sebagai bagian dari proses kesadaran, yang perlu dipeluk oleh versi diri yang dewasa dan rasional. Dalam pendekatan Schema Therapy oleh Jeffrey Young, justru penggabungan antara “child modes” dan “healthy adult mode” menjadi inti dari transformasi psikologis. Diri dewasa yang sadar tidak menolak masa lalu, tapi merangkulnya tanpa larut di dalamnya.
Pendekatan ini juga sejalan dengan temuan dalam Internal Family Systems (IFS) oleh Richard Schwartz, yang menyebut bagian terluka dalam diri kita sebagai “exiles”—bagian yang dibuang dan dikurung karena menyimpan rasa sakit. IFS tidak menyuruh kita tenggelam dalam emosi, tapi mengajak untuk menghadirkan Self—pusat kesadaran yang tenang dan bijak—untuk menemani bagian itu. Ini adalah kerja batin yang tidak anti-logika. Justru, ia membutuhkan kehadiran logika yang berbelas kasih.
Saya sendiri, sebagai seorang penyintas gangguan kecemasan dan trauma relasional, pernah percaya bahwa menangis berarti lemah, dan terlalu mengenang masa lalu adalah tindakan tidak rasional. Namun, saat saya mulai menulis surat pada diri saya yang kecil—bukan untuk menyalahkan masa lalu, tapi untuk memberinya tempat dan suara—saya tidak kehilangan logika. Justru saya menjadi lebih sadar. Saya belajar bahwa kesadaran bukan hanya kemampuan berpikir, tapi juga keberanian untuk merasa dengan jernih.
Di tengah dunia yang semakin menuntut kecepatan, produktivitas, dan pengendalian emosi, inner child hadir bukan untuk melemahkan nalar, tetapi untuk memanusiakan cara kita memahami diri. Ia bukan anak manja yang minta perhatian. Ia adalah bagian otentik dalam diri yang selama ini berusaha bicara, tetapi sering kita bungkam atas nama rasionalitas.
Maka, kita tidak harus memilih: antara luka atau logika. Keduanya adalah bagian dari sistem hidup kita. Kita hanya perlu menghadirkan inner child dengan kesadaran dewasa, dan menjalankan logika dengan kelembutan jiwa. Di sinilah kita menemukan satu kesadaran utuh—yang mampu mengakui luka, namun tidak dikendalikan olehnya; yang tetap berpikir jernih, namun tidak membekukan perasaan.
“Keseimbangan bukan berarti membagi dua arah, tapi menghadirkan keduanya dalam satu langkah.”
— Arlen Karundeng
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Cras sed sapien quam. Sed dapibus est id enim facilisis, at posuere turpis adipiscing. Quisque sit amet dui dui.
Stay connected with news and updates!
Join our mailing list to receive the latest news and updates from our team.
Don't worry, your information will not be shared.
We hate SPAM. We will never sell your information, for any reason.