Menyembuhkan Luka Lama, Membangun Diri Baru
Jun 08, 2025
“Banyak keputusan hari ini bukan lahir dari kebebasan, tapi dari luka yang belum dipahami. Pemulihan dimulai saat kita berani menengok ke belakang, bukan untuk terjebak, tapi untuk melepaskan beban dan melangkah lebih ringan.”
— Syam Basrijal, Founder Restorasi Jiwa Indonesia
Luka yang Tidak Terlihat, Tapi Mengarahkan Hidup
Setiap manusia memiliki masa lalu. Namun tidak semua orang menyadari bahwa masa lalu itu—terutama masa kanak-kanak—masih hidup di dalam dirinya, membentuk cara berpikir, merasa, mencinta, hingga merespons konflik hari ini. Ini bukan tentang menyalahkan masa kecil, orang tua, atau pengalaman buruk. Tapi tentang menyadari bahwa tanpa kita sadari, luka-luka lama kerap menjadi pengendali tersembunyi dalam hidup dewasa.
Psikolog klinis Dr. Bessel van der Kolk dalam bukunya “The Body Keeps the Score” menegaskan bahwa trauma masa kecil bukan hanya memori, tetapi terekam dalam tubuh, emosi, dan sistem saraf. Jika tidak diproses, trauma tersebut akan menciptakan pola pikir dan perilaku yang mengulangi luka: takut ditinggal, sulit percaya, terus mencari validasi, atau menyabotase hubungan sehat.
Trauma Bukan Hanya Kekerasan Fisik – Tapi Juga Ketidakhadiran Emosional
Banyak orang mengira trauma hanya berupa kekerasan fisik atau pelecehan berat. Padahal, pengabaian emosional, dibesarkan di lingkungan penuh tuntutan, tak pernah diajak bicara dengan lembut, atau harus menjadi 'anak baik' terus-menerus—bisa meninggalkan luka yang tak kalah dalam.
Contoh pola trauma yang sering terbawa ke dewasa antara lain:
- Terlalu takut membuat kesalahan, karena dulu dimarahi habis-habisan.
- Selalu ingin menyenangkan orang lain dan mengorbankan diri sendiri.
- Sulit menjalin hubungan yang sehat karena merasa tak layak dicintai.
- Merasa bersalah saat bahagia, karena terbiasa hidup dalam tekanan.
Semua ini adalah tanda bahwa anak di dalam diri kita masih memegang kendali.
Membangun Kesadaran: Langkah Awal Menuju Pemulihan
Kampanye “Menyembuhkan Luka Lama, Membangun Diri Baru” mengajak kita untuk:
- Mengenali pola luka yang terus berulang.
- Memberi ruang kepada inner child—bagian dalam diri yang terluka dan terabaikan.
- Belajar merespons hidup dengan kesadaran baru, bukan reaksi lama yang otomatis.
- Membangun diri bukan untuk menjadi sempurna, tapi menjadi utuh dan sadar.
Restorasi Jiwa Indonesia menyusun program reflektif, afirmatif, dan terapi ringan berbasis self-healing dan inner child restoration. Latihan seperti journaling luka terdalam, menulis surat kepada diri kecil, atau latihan memeluk batin sendiri terbukti membantu banyak orang melepaskan beban masa lalu dengan penuh kasih.
Membangun Diri Baru: Bukan Menghapus Masa Lalu, Tapi Berdamai Dengannya
Pemulihan bukan berarti melupakan atau menghapus masa lalu. Tapi mengubah cara kita memaknai dan meresponsnya. Dulu kita mungkin tidak punya pilihan. Tapi hari ini, kita punya kesadaran, dan dari situlah perubahan dimulai.
Dengan mengenali luka lama, kita mulai membentuk identitas baru—bukan berdasarkan luka, tapi berdasarkan harapan dan nilai yang kita pilih sendiri. Kita belajar menetapkan batas sehat, berbicara jujur pada diri, dan mencintai tanpa mengorbankan jati diri.
Luka Adalah Guru, Pemulihan Adalah Jalan Pulang
Di balik setiap luka ada pesan, dan di balik setiap rasa sakit ada kekuatan untuk bangkit. Pemulihan bukan proses cepat, tapi perjalanan penuh cinta dan kesadaran. Kita tidak bisa membangun masa depan baru dengan identitas lama yang dibentuk oleh trauma. Tapi kita bisa membangun jembatan dari luka ke makna—dan menjadi versi diri yang lebih sadar dan utuh.
“Tak perlu membenci masa lalu untuk bisa maju. Cukup peluk ia seperti anak kecil yang pernah takut sendiri. Dari situ, kita bisa melangkah sebagai orang dewasa yang tidak lagi dikendalikan oleh luka.”
— Syam Basrijal, Founder Restorasi Jiwa Indonesia