Merdeka Jiwa, Merdeka Membaca

merdeka jiwa May 18, 2025
Buku literasi jiwa bertema Merdeka Membaca dari Yayasan Restorasi Jiwa

Karena kemerdekaan sejati dimulai dari pikiran yang tercerahkan.

 Oleh: Syam Basrijal – Founder Restorasi Jiwa Indonesia 

Kita sering merayakan kemerdekaan dengan gegap gempita—bendera dikibarkan, lagu perjuangan dinyanyikan, dan pidato cinta tanah air bergema dari berbagai penjuru. Tapi di tengah semarak itu, jarang sekali kita bertanya: apakah jiwa kita benar-benar merdeka? Di balik layar-layar yang kita sentuh setiap hari, di tengah kebisingan informasi dan derasnya hiburan tanpa makna, banyak dari kita hidup dalam jebakan yang tak terlihat—terbiasa menurut, lupa berpikir. Kita diajari bagaimana tampil, bukan bagaimana memahami. Kita disuguhi jawaban, tanpa pernah diajak mempertanyakan. 

Kemerdekaan bukan hanya tentang terlepas dari penjajahan fisik, tapi juga tentang bangkit dari pembodohan yang diwariskan secara turun-temurun. Narasi palsu, ketakutan kolektif, dan pembiasaan untuk diam telah menciptakan bangsa yang bisa bicara, tapi tidak tahu apa yang ingin disuarakan. Jiwa-jiwa muda tumbuh dalam sistem yang membentuk tubuh bebas tapi membelenggu kesadaran. Literasi, dalam konteks ini, bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Tanpa kemampuan berpikir dan memilah makna, penjajahan hanya berubah bentuk—dari senjata menjadi algoritma, dari kolonialisme menjadi distraksi massal. 

Menurut data PISA (2018), Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara dalam kemampuan literasi membaca. Tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah kualitas literasi itu sendiri: kita mampu membaca teks, namun belum terbiasa membaca makna. Sementara data dari UNESCO menunjukkan ratusan juta anak dan remaja di dunia tidak memiliki kemampuan membaca dan berhitung yang layak, meski telah bersekolah. Dan di tengah arus digital, rata-rata orang Indonesia membaca hanya sekitar 6 menit per hari, jauh di bawah waktu yang mereka habiskan menatap layar. Ini bukan sekadar krisis membaca, tapi krisis berpikir. 

Di tengah dunia yang bergerak cepat, buku hadir sebagai ruang hening yang dibutuhkan jiwa. Ia tidak memburu perhatian, tapi mengundang ke dalam. Buku mengajak kita berdialog dengan diri sendiri, membuka ruang bagi refleksi dan keberanian berpikir berbeda. Sebuah buku tidak hanya mengajarkan huruf, tetapi menghidupkan hati dan mengasah akal. Ia tidak menyuruh, tetapi mengajak. Ia tidak memaksa, tapi menyadarkan. Dan dalam hening itulah, kesadaran bisa tumbuh. 

Ketika Anda mendonasikan satu buku, Anda tidak sedang memberi kertas dan tinta—Anda sedang menyalurkan api kecil ke tempat-tempat yang tak terjangkau oleh sorotan. Anda sedang mengirimkan harapan yang bisa menyalakan satu jiwa—dan satu jiwa yang bangkit bisa menyalakan perubahan jauh lebih besar. Inilah gerakan sunyi yang mampu melawan pembodohan yang sistematis: melalui kata, melalui makna, melalui keberanian untuk memahami dunia dengan mata terbuka. 

Merdeka Jiwa bukan sekadar seruan, tapi misi. Bukan sekadar peringatan, tapi panggilan. Mari rayakan kemerdekaan bukan hanya dengan sorak dan simbol, tetapi dengan obor kesadaran yang menyala dari satu buku ke buku berikutnya. Mungkin kita tak akan tahu siapa yang membacanya. Tapi yakinlah, satu buku bisa menyelamatkan satu arah hidup.
1 buku untuk Merdeka Jiwa. 

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Cras sed sapien quam. Sed dapibus est id enim facilisis, at posuere turpis adipiscing. Quisque sit amet dui dui.

Call To Action

Stay connected with news and updates!

Join our mailing list to receive the latest news and updates from our team.
Don't worry, your information will not be shared.

We hate SPAM. We will never sell your information, for any reason.