Pulih Tanpa Stigma: Menyembuhkan Luka, Merangkul Diri
May 27, 2025
“Luka batin tidak selalu berdarah, tapi dampaknya bisa mengeringkan makna hidup. Yang paling menyakitkan bukan derita itu sendiri, tapi saat kita dipaksa diam oleh stigma.”
— Syam Basrijal, Founder Restorasi Jiwa Indonesia
Ketika Luka Batin Dianggap Lemah
Di tengah kemajuan zaman dan ledakan informasi, kesehatan mental masih menjadi wilayah yang diselimuti stigma. Banyak orang lebih mudah berkata "sakit gigi" daripada "hatiku sedang kacau" atau "pikiranku terlalu berat." Padahal, menurut data World Health Organization (WHO), lebih dari 970 juta orang di dunia hidup dengan gangguan kesehatan mental, dengan depresi dan kecemasan sebagai dua kondisi terbanyak. Di Indonesia sendiri, Riskesdas 2018 mencatat bahwa lebih dari 14 juta penduduk mengalami gangguan emosional dan 400 ribu mengalami gangguan jiwa berat. Namun sayangnya, hanya sebagian kecil dari mereka yang berani mencari pertolongan.
Mengapa demikian? Karena masih banyak orang takut dilabeli "gila", "lemah iman", "kurang bersyukur", atau "kurang sibuk". Stigma ini bukan hanya membungkam, tapi juga memperparah kondisi, menciptakan isolasi emosional yang lebih menyakitkan dari luka itu sendiri. Padahal, kesehatan mental adalah bagian tak terpisahkan dari kesehatan manusia secara menyeluruh, sebagaimana ditekankan dalam definisi kesehatan oleh WHO: “Kesehatan adalah keadaan sejahtera secara fisik, mental, dan sosial, bukan sekadar ketiadaan penyakit.”
Memahami Luka yang Tak Terlihat
Tidak semua luka bisa dilihat oleh mata. Luka batin bisa berasal dari pengalaman kehilangan, pengabaian di masa kecil, kekerasan verbal, tekanan kerja, relasi yang tidak sehat, hingga perasaan tidak pernah cukup. Tanpa disadari, luka ini tertanam di dalam tubuh dan pikiran, memengaruhi cara kita mencintai, bekerja, dan memandang hidup.
Penelitian dari Harvard University menunjukkan bahwa trauma masa kecil dapat berdampak langsung pada struktur otak, regulasi emosi, dan respons stres seseorang hingga dewasa. Ini bukan soal “drama” atau “lebay”, melainkan fakta ilmiah tentang bagaimana pengalaman menyakitkan memengaruhi biokimia tubuh. Oleh karena itu, pemulihan tidak cukup dengan “semangat” atau “pasrah kepada Tuhan”, melainkan perlu pemahaman, pendampingan, dan pemrosesan yang sehat.
Mengganti Paradigma: Dari Aib menjadi Jalan Pulih
Stigma yang melekat pada isu mental health membuat banyak orang terjebak dalam diam. Padahal diam tidak selalu menyembuhkan. Banyak korban kekerasan rumah tangga, penyintas trauma, bahkan profesional yang kelelahan emosional justru menumpuk luka karena takut dianggap lemah. Dalam budaya yang menjunjung "kuat" sebagai standar keberhasilan, menangis dianggap memalukan, padahal justru itulah tanda manusiawi kita.
Di sinilah pentingnya kampanye Pulih Tanpa Stigma: untuk mengubah cara pandang masyarakat dari yang menghakimi menjadi yang memahami. Edukasi publik, ruang aman, dan cerita pemulihan harus disebarluaskan agar normalisasi pencarian bantuan menjadi budaya baru.
Merangkul Diri, Menerima Luka sebagai Bagian dari Jalan Hidup
Pemulihan bukan soal menjadi 'baik-baik saja' dalam waktu singkat. Pemulihan adalah tentang belajar menerima diri secara utuh, termasuk bagian-bagian yang gelap dan rapuh. Kita perlu belajar bahwa mencari bantuan bukan tanda lemah, tapi keberanian untuk hidup lebih sadar dan sehat. Terapi, komunitas sadar, journaling, latihan pernapasan, atau sekadar bercerita tanpa dihakimi adalah bentuk-bentuk sederhana namun sangat bermakna dalam perjalanan pulih.
Restorasi Jiwa Indonesia mengembangkan berbagai pendekatan berbasis kesadaran holistik, mulai dari Literasi Jiwa, Pendampingan Trauma, hingga Pojok Refleksi di tempat publik—sebagai intervensi lembut untuk membuka ruang dialog tentang luka dan pemulihan. Di sinilah titik balik mulai lahir: ketika satu orang merasa didengar, maka satu dunia bisa berubah.
Pulih Adalah Hak Setiap Jiwa
Dalam masyarakat yang terus bergerak cepat, kita perlu ruang untuk berhenti sejenak, mengenali beban yang kita pikul, dan memberikan diri kita izin untuk tidak baik-baik saja. Kampanye Pulih Tanpa Stigma bukan hanya tentang individu, tapi tentang membangun ekosistem sosial yang menyembuhkan. Kita butuh sekolah yang tidak menertawakan anak yang menangis. Kita butuh tempat kerja yang tidak meremehkan burnout. Kita butuh keluarga yang bisa berkata, “Aku tidak mengerti, tapi aku mau mendengarkan.”
Karena sejatinya, pemulihan bukan soal membuang luka, tapi memeluknya hingga ia menjadi bagian dari kekuatan kita.
“Yang paling menyembuhkan bukan terapi, tapi perasaan bahwa kita tidak sendirian dalam prosesnya. Bahwa luka kita tidak membuat kita ditolak, melainkan dipeluk untuk dipahami.”
— Syam Basrijal, Founder Restorasi Jiwa Indonesia