Tidak Harus Kuat Sendiri: Membangun Budaya Saling Dukung

kesadaran-holistik Jun 10, 2025
Membangun Budaya Saling Dukung

“Bukan kuat kalau bisa menahan semuanya sendirian. Justru kekuatan sejati lahir dari keberanian mengakui bahwa kita butuh orang lain untuk tetap waras dan utuh.”
Syam Basrijal, Founder Restorasi Jiwa Indonesia

 

Budaya ‘Kuat’ yang Justru Melemahkan

Dalam banyak budaya, termasuk Indonesia, kita terbiasa dengan kalimat seperti:
"Kamu harus kuat."
"Jangan tunjukkan air mata."
"Semua orang juga punya masalah, jangan cengeng."

Kalimat ini terdengar seperti dukungan, tapi sering kali justru menjadi tembok yang memisahkan kita dari kejujuran dan kelegaan batin. Tanpa disadari, kita menanamkan toxic positivity—keyakinan bahwa emosi negatif harus dihindari, dan segala penderitaan harus disikapi dengan senyum serta semangat kosong.

Padahal, manusia tidak dirancang untuk hidup sendiri dalam penderitaan. Kita adalah makhluk relasional—dirancang untuk didengar, dipeluk, dan disangga saat rapuh.

 

Toxic Positivity: Ketika ‘Semangat’ Justru Menekan

Toxic positivity adalah dorongan untuk “selalu positif” yang justru mengabaikan validitas rasa sakit dan kesedihan. Alih-alih menyembuhkan, ia menciptakan ruang palsu yang penuh penyangkalan.

Contoh ekspresi toxic positivity:

  • “Ayo, jangan sedih, orang lain juga lebih parah.”
  • “Yang penting kamu masih hidup, bersyukurlah.”
  • “Udah, jangan overthinking, biasa aja.”

Respons seperti ini membuat orang merasa bersalah karena merasa lemah, dan akhirnya memilih diam. Hasilnya? Luka makin dalam, dan relasi makin jauh.

 

Membangun Budaya Saling Dukung: Dari Kompetisi ke Kepedulian

Kampanye “Tidak Harus Kuat Sendiri” hadir untuk mengedukasi masyarakat bahwa:

  1. Meminta bantuan bukan tanda lemah, tapi bentuk kepercayaan dan keberanian.
  2. Kita semua berhak mendapat dukungan emosional, sekecil apa pun masalahnya.
  3. Menjadi pendengar yang hadir jauh lebih menyembuhkan daripada menjadi penasihat yang tergesa.

Gerakan ini mendorong perubahan dari kultur “tahan saja” menjadi “kita pulih bersama”. Ia mengajak keluarga, sekolah, tempat kerja, hingga komunitas untuk menjadi “lingkaran aman”—di mana kejujuran emosional diterima tanpa distorsi.

 

Praktik-nyata di Komunitas dan Lembaga

Restorasi Jiwa Indonesia telah memfasilitasi berbagai bentuk ruang dukungan emosional berbasis komunitas:

  • Circle of Trust: ruang bulanan untuk berbagi tanpa nasihat, tanpa gangguan, hanya kehadiran.
  • Program "Dengar Dulu Baru Bicara": pelatihan mendengar aktif untuk relawan, guru, ASN, dan masyarakat umum.
  • Pasangan Pemulih: program pendampingan teman sebaya yang saling mengingatkan dan mendukung tanpa tekanan.
  • Jurnal Dukungan Jiwa: alat bantu untuk mengungkapkan isi hati secara terarah sebelum dibagikan pada orang lain.

Manfaat Kolektif: Dari Rasa Malu Menjadi Rasa Bersama

Ketika budaya saling dukung dibangun:

  • Angka gangguan mental bisa ditekan, karena intervensi dini lebih mungkin terjadi.
  • Relasi sosial menjadi lebih sehat dan jujur, tanpa kepura-puraan yang menguras.
  • Masyarakat belajar bahwa menjadi manusia seutuhnya lebih penting daripada terlihat “baik-baik saja.”

Ini bukan sekadar perubahan sikap, tapi transformasi nilai: bahwa kerapuhan adalah bagian dari keberanian, dan keterhubungan adalah kekuatan sejati manusia.

 

Pulih Lebih Cepat Saat Tidak Sendirian

Jangan ajarkan anak-anak untuk kuat dengan menahan tangis. Ajarkan mereka untuk mencari pelukan saat mereka sedih. Jangan paksa pasangan untuk “tetap semangat”—cukup genggam tangannya dan biarkan ia merasa aman untuk menangis. Jangan bangga karena “bisa sendiri”—banggalah karena kamu tahu kapan harus minta tolong.

“Yang kita butuhkan bukan orang sempurna, tapi seseorang yang berkata: ‘Aku mungkin tak bisa menyelesaikan masalahmu, tapi aku ada di sini, dan kamu tak perlu menjalaninya sendirian.’”
Syam Basrijal, Founder Restorasi Jiwa Indonesia